Adegan pembuka tadi jelas sebuah cara gampangan untuk menanam citra karakter seorang tokoh kepada benak penonton, disempalkan begitu saja lewat pengadeganan yang sepertinya ditulis secara tergesa-gesa. Padahal, film baru saja dimulai. Kita diajak sepakat saja bahwa Sang Kiai adalah mahaguru, disegani sekaligus dihormati tak hanya oleh seluruh santri pesantren Tebuireng yang dipimpinnya, namun juga oleh seluruh kalangan masyarakat.
Belanda baru saja pergi dari Tanah Nusantara. Pada 1942, Jepang menguasai hampir seluruh wilayah Asia dan segera saja menginvasi Indonesia, mengaku sebagai saudara tua padahal niatnya sama busuknya dengan Belanda yang sudah lebih dulu mengacak-acak Tanah Air, sama-sama untuk menjajah. Mengetahui mayoritas warga Indonesia beragama Islam, Jepang merasa perlu menangkap pemimpin umat Islam untuk diajak bekerja sama. Sang Kiai kita pun lalu ditangkap.
Film garapan Rako Prijanto ('Ungu Violet', 'D'Bijis') ini terlalu bawel, ingin bercerita banyak hal lewat banyak peristiwa bersejarah yang membentang dari 1942 hingga 1949 saat Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia. Peristiwa heroik 10 Nopember 1945 di Surabaya pun tak luput ditampilkan. Bila tak memahami betul konteks sejarahnya, penonton akan tersesat mengikuti alur cerita tulisan Anggoro Saronto ('Miracle', 'Setan Facebook') ini, dan mau tak mau harus pasrah ikut terseret juga untuk menyaksikan kisahnya.
Alih-alih fokus pada satu atau dua peristiwa penting saja dan menitikberatkan pada pengembangan karakter Sang Kiai, penulis naskah malah asyik menyulam-tambal serentetan kejadian, baik yang berhubungan langsung dengan Sang Kiai maupun tidak, lalu lupa bahwa film ini sejatinya tentang Sang Kiai itu, bukan catatan rangkuman sejarah.
Ikranagara bermain sangat apik sekali sebagai Sang Kiai; ia benar-benar menghidupkan sosok KH. Hasyim Asy'ari dengan segala gestur, sorot mata dan intonasi bicaranya. Kemampuan aktingnya sungguh tak terbantahkan lagi. Pun begitu dengan Christine Hakim yang berperan sebagai Masrurah, istri Sang Kiai, walau tampil dalam porsi adegan yang tak terlalu banyak, namun mampu memberi nyawa lebih terhadap karakter yang dimainkannya. Menyaksikan keduanya beradu akting adalah momen terbaik sepanjang pertunjukan film ini.
Sayang, gelaran akting dua aktor hebat itu selalu terinterupsi oleh perpindahan adegan yang juga menampilkan banyak tokoh pendukung. Harun (Adipati Dolken, 'Perahu Kertas', 'Pocong Keliling') adalah contoh kecil kebimbangan si penulis naskah yang tak yakin ke muara mana ceritanya mesti mengalir. Maksud hati ingin memberi romansa, penulis naskah malah mencipta tokoh Harun dengan beberapa permasalahan yang ia hadapi, dan itu sangat menyita perhatian, lalu ia menjadi bayang-bayang akan ketokohan Sang Kiai yang seharusnya menjadi jantung hati film ini.
Desain produksi, kostum, tata artistik hingga tata suara film ini sungguh mumpuni. Salah satu film Indonesia dengan production value terbaik tahun ini, dan itu dibuktikan lewat tampilan film yang meyakinkan. Secara visual film ini mengagumkan, kecuali untuk departemen cerita yang tampak kedodoran. Naskah cerita adalah departemen yang paling lemah, begitu lemah sampai-sampai tak mampu menyampaikan emosi drama tanpa harus dengan cara memaksa.
Lihat misalnya adegan ketika Sang Kiai ditangkap, diangkut dengan menggunakan truk, lalu santrinya lari-lari mengejar sambil nangis kejer. Setelah usai menulis sekuen ini, penulis naskah seolah bergumam, "Yuk kita ulang adegan ini untuk Harun, kali ini istrinya yang mengejar, biar penonton sesenggukan."
Pada adegan lain, yang menampilkan Sang Kiai disiksa, dipukul jari-jari tangannya dengan menggunakan palu, pun tak lain hanya untuk membuat penonton menangis saja, karena setelah itu si penulis naskah melupakannya dan tak menceritakan lebih jauh dampak dari adegan tadi. Sang Kiai di adegan selanjutnya tampak baik-baik saja tanpa bekas luka sedikit pun di jari-jari tangannya.
Membuat penonton menangis seakan menjadi tujuan utama film ini. Selain, menampilkan rangkuman-rangkuman kejadian bersejarah yang seolah hasil riset dari membaca buku sejarah untuk anak SMA di perpustakaan sekolah. Curangnya lagi, rangkuman itu, termasuk tonggak-tonggak peristiwa yang paling penting dan menyakut sosok Sang Kiai, tidak dituangkan dalam gambar adegan, melainkan muncul dalam bentuk penjelasan teks narasi yang tertulis di layar.
Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia
(mmu/mmu)