Amar (22) misalnya, mahasiswa tingkat akhir salah satu perguruan tinggi di Jakarta itu mengaku memiliki uang saku tak lebih dari Rp 50 ribu sehari. Oleh karena itu, ketika memutuskan untuk menonton di bioskop dengan harga tiket Rp 35 ribu- Rp 100 ribu, ia akan sangat selektif.
"Kan mendingan gue nonton 'Iron Man 3' yang udah jelas kualitasnya, daripada nonton film Indonesia harus nebak-nebak bagus apa nggak," ujarnya kepada detikHOT.
Dengan harga 'pukul rata', mungkin memang terasa lebih sulit bagi film Indonesia untuk bersaing menarik perhatian penonton. Apalagi di tengah serbuan Superman, Batman, dan film superhero lain yang selalu meledak ketika dirilis.
Lalu, adakah peran pemerintah untuk mendorong suatu kebijakan mengenai hal itu? Menurut Dirjen Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya Kemenparekraf Ahman Sya, pemerintah tak bisa ikut campur mengenai harga tiket.
"Itu bukan ranah pemerintah kalau mengeluarkan saran tiket film nasional lebih murah. Itu sudah masuk dunia usaha, bisnis, industri," ujarnya kepada detikHOT.
Ahman melanjutkan, pemerintah melalui kementrian-kementrian terkait, hanya mengurus soal perizinan, produksi, serta sensor. Dukungan lain juga diberikan lewat sosialisasi dari beberapa tokoh.
"Misalnya 'Sang Kiai' ditonton oleh Presiden. Ini bentuk kepedulian kami kepada film nasional. Kalau (suksesnya) tidak seperti 'Habibie Ainun' mungkin ada faktor lain, anak-anak sekolah belum libur, kampanye ke masyarakat kurang efektif, dan sebagainya," lanjutnya.
Tetapi menurut Ahman, pemerintah juga memberi masukan kepada pihak bioskop agar film-film yang terkait nasionalisme serta pembentuk karakter bangsa, jangan diturunkan dulu agar pesannya sampai ke masyarakat.
Sementara itu, menurut pengamat perfilman Indonesia, Shandy Gasella, di beberapa negara peran pemerintah cukup signifikan dalam menjamin keberlangsungan film produksi negerinya. Mereka memberikan jaminan, misalnya membuat peraturan pemerintah bahwa film produksi dalam negeri harus diputar di bioskop setidaknya selama dua minggu terlepas filmnya ada yang menonton atau tidak.
"Negara Prancis saja yang industri filmnya sudah maju masih memiliki aturan seperti itu. Negara kita tidak," ujar Shandy yang mungkin mewakili sebagian perasaan filmmaker Indonesia.
(ich/ich)