'9 Summers 10 Autumns': Romansa Kecil Sebuah Kisah Sukses

Jakarta - Kisah seorang anak kampung yang mengejar mimpi meraih kesuksesan pernah kita saksikan sebelumnya dalam 'Laskar Pelangi' (Riri Riza, 2008). Kini, berbekal premis yang tak jauh berbeda, Angka Fortuna Sinema memberikan persembahannya lewat '9 Summers 10 Autumns', karya adaptasi dari buku berjudul sama tulisan Iwan Setyawan tentang dirinya sendiri. Lalu, apa alasan untuk tetap menonton film ini?

Sesaat setelah temaram lampu bioskop meredup, di awal film, kita langsung berkenalan dengan Iwan. Ia tengah berada di New York yang terkenal sebagai salah satu kota tersibuk di dunia. Iwan -- diperankan dengan sangat apik oleh Ihsan Tarore ('Sang Pencerah', 'Mengaku Rasul')-- mencoba berbagi rasa dengan penonton lewat narasi yang dibawakannya dengan intonasi yang terdengar mantap.


Setiap untaian narasinya menjadi pengantar yang membawa kita untuk kembali mengenang masa-masa yang pernah ia lalui di Batu, Malang. Di sanalah ia dilahirkan, menjadi satu-satunya cowok di antara empat saudara ceweknya. Ayahnya -- diperankan dengan sangat prima oleh Alex Komang ('Romeo Juliet', 'Darah Garuda')-- seorang sopir angkot berperangai keras. Namun, tak seperti sang ayah, Iwan mewarisi sifat lembut dari ibunya --diperankan juga dengan amat baik oleh Dewi Irawan ('Sang Penari', 'Rectoverso').


Sesungguhnya masa kecil Iwan mungkin juga dialami oleh banyak anak di pelosok negeri ini, dan hal tersebut menjadikannya dekat dengan keseharian. Tak seperti Ikal dalam 'Laskar Pelangi' yang terasa mengawang-awang, karakter Iwan terlihat seperti seorang teman semasa kecil yang pernah kita kenal sewaktu di kampung. Ya, semeyakinkan itu.


Iwan tak bercerita tentang kisah-kisahnya dengan cara yang bombastis. Karakternya tampil begitu jujur tanpa kepura-puraan. Novel yang dijadikan pijakan awal dari film ini lahir dari kejujurannya sebagai penulis. Modal kejujuran tersebut lalu diolah oleh para aktor lewat arahan sutradara yang mumpuni hingga tercipta reka percaya yang tak terbantahkan.


Selain itu, ini adalah salah satu film dengan production value yang terbaik tahun ini. Detail-detail yang ditampilkan amatlah mengundang decak kagum. Naskah cerita film yang ditulis keroyokan oleh Fajar Nugroho, Ifa Isfansyah dan Iwan Setyawan ini sesungguhnya 'berpotensi' untuk tampil membosankan karena sepanjang dua jam durasinya hampir tak menawarkan konflik yang berarti. Produser Edwin Nazir dan Arya Pradana patut mendapat salut atas buah kerjanya yang berhasil mendapuk Ifa Isfansyah untuk duduk di kursi sutradara.


Ifa, sebelumnya mengarahkan 'Sang Penari' yang menuai banyak pujian kritikus itu, terbukti sekali lagi berhasil mengeksekusi naskah hasil keroyokan tadi menjadi sebuah tontonan yang tak hanya ciamik, namun juga mampu membuat kita betah terpaku mengikuti jalinan kisahnya hingga tuntas. Lewat arahannya, Ifa sengaja menampilkan sisi kota New York yang terlihat sepi dan lengang, hampir tak ada shot kerumunan, hanya sudut-sudut kota yang kosong, persis seperti situasi yang dirasakan oleh Iwan, hampa dan terasing di negeri orang.


Iwan menyendiri, tak memiliki teman di sana. Sepulang kerja, ia lebih memilih untuk langsung kembali ke apartemennya, membeli seikat bunga untuk menghiasi ruangannya, lalu mulai melamun mengenang romansa masa lalu. Adalah menarik bahwa film ini memulai kisahnya dari sudut pandang Iwan yang tengah berada di puncak kesuksesannya ketimbang bercerita soal kisah hidupnya yang from zero to hero lewat alur maju secara runut.


Hal itu membuat '9 Summers 10 Autumns' keluar dari klise kerangka cerita motivasional yang selalu memberi plot kronologis bagi si tokoh utama untuk mencapai suatu tujuan yang kita tahu pada akhirnya nanti akan diperolehnya di penghujung film. Film ini dengan tegas tak memilih pakem itu, dan menghindari tuturan yang menggurui lewat dialog-dialog yang berpretensi inspiratif ala Mario Teguh.


'9 Summers 10 Autumns' sejatinya adalah proyeksi dari romansa Iwan Setyawan. Romansa akan kenangan, keluarga dan kampung halaman. Romansa ini ditampilkan lewat sudut pandang yang, secara mengejutkan, tak biasa. Lihat misalnya beberapa adegan Iwan kecil menyusuri jalan sepulang sekolah melewati pepohonan, adegan Iwan remaja yang mendapati ibunya menangis pada suatu malam, adegan Iwan melihat ibunya yang menungguinya di luar kelas saat ia tengah belajar di IPB, dan puncaknya adalah ketika Iwan pulang ke kampung halaman, bertemu kembali dengan ayahnya yang dulu sempat menghalang-halangi kepergiannya, lalu mereka berpelukan.


Itu adalah sejumlah adegan yang dapat dimaknai lebih oleh jiwa-jiwa berhati lembut. Serentetan adegan tadi dibingkai dalam shot-shot yang melelehkan hati hasil tangkapan kamera sinematografer Gandang Warah ('7 Hati 7 Cinta 7 Wanita'). Menontonnya tanpa melibatkan emosi adalah sungguh kesia-siaan, dan kita akan melewatkan momen-momen itu terlintas begitu saja.


Romansa memang tak mesti melulu dikisahkan lewat drama dua sejoli yang saling jatuh cinta. Inilah romansa yang lain, yang berhasil ditangkap dan diterjemahkan dengan luwes lewat bahasa gambar yang menawan.Kita dibuat lupa bahwa ini adalah kisah sukses seorang anak dari 'Kota Apel' Malang yang hijrah ke 'Big Apple' New York. Ah, kepergiannya ke kota New York itu jadi terasa tak begitu penting lagi. Justru di saat Iwan memutuskan untuk mengakhiri kariernya yang tengah berada di puncak, film ini seolah mengecup pipi kita. Sambil tersipu kita diajak tersenyum sembari sesekali larut dalam haru. Di penghujung film, tangan kita digandeng, lalu kita berjalan beriringan....untuk pulang.


Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia


(mmu/mmu)