Untuk mengetahui seperti apa film ini sebenarnya, Anda harus tahu film-film apa yang dibuat oleh David Ayer yang tidak hanya menyutradarai namun juga menulisnya. Film-filmnya selalu erat dengan persahabatan para pria, berbau kemachoan level tinggi dan moral yang bergeser. 'Training Day', dan proyek comeback Schwarzenegger 'Sabotage' yang rilis awal tahun ini adalah beberapa karya Ayer yang bisa Anda tengok. 'Fury' tidak ada bedanya dengan film-film itu. Hanya saja lebih megah dan meriah berkat bujet produksi yang jauh lebih mahal.
Secara cerita, Fury tidak terlalu spesial. Walaupun Ayer dengan uniknya tidak tertarik untuk mendramatisasi kisah nyata ini dengan bumbu-bumbu nasionalisme yang berlebihan yang biasanya bertebaran di film-film sejenis. Film ini --mungkin ini bisa dilihat sebagai kekurangannya-- tidak mencoba memberikan statement atau gimmick lain. Seperti yang dilakukan Tarantino dalam 'Inglorious Basterds' --yang lucunya juga diperanutamai oleh Brad Pitt-- ataupun Kathryn Bigelow dalam 'The Hurt Locker'. Ayer hanya mencoba mengajak kita untuk merasakan bagaimana perang dalam sebuah tank. Dan, untuk semua itu itu Ayer sangat berhasil.
'Fury' terasa begitu claustrophobic. Dengan berada di dalam tank kita bisa merasakan betapa putus asa dan begitu kejamnya perang, bahkan kalaupun Ayer tidak memberikan set pieces perang yang mutakhir seperti yang dilakukan Spielberg atau Bay. Dan, karena ini film yang dibuat oleh Ayer, maka bersiaplah untuk berbagai adegan kekerasan yang disajikan dengan begitu grafis seperti peluru melewati mata atau orang terbakar hidup-hidup. Di tengah kobaran api dan bunga api di sana-sini, gambaran tersebut terasa begitu memilukan. Steven Price yang kemarin memenangkan Oscar lewat 'Gravity', memberikan musik yang begitu menggetarkan sehingga Anda bisa merasakannya ketika Anda menyaksikannya di layar lebar.
Tambahan kecil seperti ibu-ibu tua yang menguliti mayat kuda yang sudah mati, sepasang pengantin di tengah keramaian rakyat yang sedang menderita atau dialog intens di meja makan --salah satu adegan terbaik dalam film ini-- menambahkan gambaran betapa buruknya perang yang dilalui Don dan anak buahnya. Brad Pitt sekali lagi menunjukkan tajinya sebagai aktor papan atas. Don bisa kita lihat sebagai sosok tiga dimensi; tidak ada baik dan jahat, semuanya relatif. Di satu adegan kita bisa melihat Don memaksa anak buahnya menembak tentara Nazi dengan paksa, di adegan berikutnya ia menolong dua wanita Jerman di sebuah apartemen.
Shia Labeouf yang akhir-akhir ini menjadi bahan berita karena tingkah lakunya yang aneh membalas gosip tak sedap tersebut dengan penampilannya yang cukup fenomenal. Kita bisa merasakan kepedihan dari sorot matanya. Chemistry-nya dengan pemain lain, terutama dengan Brad Pitt, bisa menjadi bahan analisis tersendiri. Michael Pena memberikan comic relief yang lumayan di tengah ketegangan, dan Jon Bernthal memberikan sosok keras-di-luar-tapi-sebenarnya-baik dengan sempurna.
Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa kejutan datang dari Logan Lerman. Setelah film 'Percy Jackson' yang memuakkan kemudian bersinar lewat 'The Perks of Being Wallflower', Logan Lerman mengukuhkan diri bahwa ia adalah salah satu bintang muda yang berbakat. 'Fury' tidak akan berhasil menyampaikan kejamnya perang tanpa kehadirannya yang benar-benar berhasil menyampaikan bagaimana rasanya ketika kepolosan anak manusia dirampas oleh kekerasan. Matanya memberikan trauma perang yang akan membuat Anda terpesona. Dan, itu saja lebih dari cukup untuk menjadikan alasan Anda harus menonton film ini sekarang juga.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
(mmu/mmu)