Dalam skala produksi film Indonesia, angka tersebut tentu terbilang fantastis. Menurut Eksekutif Produser Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, dana (yang setara dengan produksi enam film Indonesia berkategori film besar) itu dibutuhkan untuk membawa kembali suasana Malaka abad ke-19 yang menjadi latar cerita film.
"Lokasi syuting di hutan dimana kami harus membangun seluruh infrastruktur, sistem, sarana prasarana syuting sendiri," kata wanita yang akrab disapa Sara itu dalam perbincangannya dengan detikHOT via surat elektronik.
Membawa nuansa kolosal di masa sekarang tentunya merupakan tantangan bagi beberapa departemen produksi film, terutama bagian kostum, dan art. Sama seperti ketika Hanung Bramantyo menghadirkan masa sebelum kemerdekaan RI di film 'Soekarno: Indonesia Merdeka', yang juga menelan biaya besar.
"Juga producion design, karena set filmnya di zaman kuno, dimana semua harus di-remake, baik perabotan, rumah, perahu, baju, senjata, dan lain-lain," lanjut Sara.
'Gunung Emas Almayer' mengadaptasi novel karya penulis dunia Joseph Conrad, 'Almayer`s Folly' yang diterbitkan pada 1895. Buku ini ditulis dengan latar belakang budaya Melayu dan situasi di Malaka pada abad ke-19.
Dalam menulis buku-bukunya, sastrawan bernama lengkap Józef Teodor Conrad Korzeniowski itu banyak memperoleh inspirasi dari pengalamannya berkeliling ke berbagai pelabuhan dunia sebagai pekerja kapal dagang Inggris.
Film ini bercerita tentang kisah perjuangan seorang pedagang senjata yang mempunyai minat arkeologi berkebangsaan Belanda, Kaspar Almayer, untuk mengejar impiannya menemukan gunung emas di Malaka.
'Gunung Emas Almayer' diangkat ke layar lebar atas kerjasama MDI dengan rumah produksi Tanah Licin, dan akan digarap oleh sutradara berdarah Padang, U-Wei Bin Haji Saari. Film yang dibintangi Peter O`Brien, Sofia Jane, Rahayu Saraswati, El Manik, Alex Komang, Adi Putra, Diana Danielle, Khalid Salleh, Bront Palarae, dan Sabri Yunus itu akan dirilis pada 6 November mendatang.
(ich/mmu)