'Kampung Zombie': Film Zombie Tanpa Darah dan Motivasi

Jakarta - Sebuah gunung di Jawa meletus memuntahkan wedus gembel, membunuh orang-orang kampung yang tinggal di kaki gunung. Lalu, melompat ke enam bulan kemudian. Lima sekawan, terdiri tiga cowok (satu di antaranya gemuk, sebagai objek tertawaan) dan dua cewek, naik gunung untuk melakukan semacam penelitian. Namun, entah meneliti apa, yang jelas sesampainya di kaki gunung mereka lantas mendirikan tenda. Lalu, inilah yang kita saksikan di layar:

Budi (El Jalaludin Rumi) terlihat tengah asik memukuli sasak tinju yang sengaja ia bawa. Tak jauh dari tempatnya berlatih tinju, kawannya, Rico (Axel Matthew Thomas), sedang asik ngobrol dengan seorang temannya yang cewek. Kemudian kita melihat Rico berjalan menjauhi tenda, dan seketika itu datanglah zombie-zombie yang berusaha menangkap mereka. Dan, aksi kejar-kejaran pun berlangsung...tanpa henti sepanjang film!


Bandingkan dengan sinopsis yang tertera di laman situs bioskop atau di situs lain yang khusus membahas film Indonesia. Begini: Lima sekawan baru saja melakukan perjalanan mendaki gunung. Di tengah perjalanan pulang, mobil yang mereka kendarai mengalami kecelakaan. Mereka pun bermaksud mencari bantuan di sebuah kampung. Ternyata yang mereka temui adalah sekawanan zombie. Bagaimana kisahnya sehingga seluruh penduduk kampung ini berubah menjadi zombie? Dan, bagaimana pula mereka dapat keluar dari kampung zombie ini?


Film yang saya saksikan tak menampilkan satu adegan pun yang melibatkan kecelakaan mobil. Dan, tokoh-tokoh utama di film ini diserang sekawanan zombie tepat pada saat mereka sampai di kaki gunung di dalam hutan, bukan di tengah perjalanan pulang. Artinya? Dalam membuat film ini, si pembuat film mungkin hanya mempunyai modal sinopsis tadi, lantas pengambilan gambar dilakukan dengan menyesuaikan situasi dan kondisi yang ada di lapangan. Kredit penulis naskah untuk Baskoro Adi ('After School Horror', 'Hantu Pohon Boneka') terasa seperti formalitas saja, sebab rasa-rasanya film ini dibuat tanpa naskah skenario, atau bila pun ada, saya menduga tebal skenario film ini mungkin hanya empat halaman saja.


Singkat cerita, film ini gagal membuat saya terpaku untuk mau terus mengikuti kisah yang disajikan. Sepuluh menit pertama memang terlihat lumayan menjanjikan. Namun, selepas itu film ini tak menawarkan apa-apa lagi selain pertunjukan adegan demi adegan kejar-kejaran tiada henti yang amat melelahkan. Bila saja ditangani dengan cermat serta penuh kesungguhan, adegan kejar-kejaran anak ABG menyelamatkan diri dari sekawanan zombie bisa saja jadi suguhan crowd-pleasing yang ditunggu-tunggu pecinta film zombie. Sayangnya, elemen-elemen penting yang membuat film zombie menyenangkan untuk disaksikan absen di film ini; tak ada adegan manusia yang dicabik-cabik, tak ada adegan zombie memakan usus yang terburai, tak ada adegan zombie yang dihajar habis-habisan hingga tubuhnya hancur. Yang kita dapatkan dari menonton film ini hanyalah pertunjukan parade cosplay dari ratusan figuran yang mondar-mandir terus ke sana ke mari dan tak jelas juntrungannya.


Membuat cerita soal kemunculan zombie yang diakibatkan wedus gembel, alih-alih akibat terpapar virus seperti yang biasa ditampilkan film-film Hollywood jelas sah-sah saja. Bahkan ide itu terdengar segar dan sangat original. Yang menjadi masalah adalah, zombie pun butuh motivasi untuk membunuh korban-korbannya. Apakah karena lapar atau karena insting mereka yang buas sebagai makhluk liar, di film ini zombie-zombie punya motivasinya sendiri-sendiri; ada zombie yang pendiam, ada zombie yang berisik, ada yang bergerombol, ada yang menyendiri, ada yang pintar berkelahi, ada pula zombie wanita yang penuh gairah birahi. Lantas bagaimana dengan cara membunuh mereka? Tak ada cara yang pasti; ada yang dijorokin ke tebing saja langsung mati, ada yang perlu dilukai tubuhnya, banyak pula yang mati karena jidatnya tertembus anak panah.


Uniknya, wedus gembel yang menyembur dari gunung meletus ternyata hanya mampu melepuhkan kulit wajah manusia. Maka, zombie-zombie di film ini terlihat bak manusia biasa saja namun dalam versi yang jauh lebih bodoh serta muka penuh koreng. Bakal jadi tontonan yang amat menghibur andaikan film ini memiliki adegan berdarah-darah, dan bila saja itu terpenuhi saya tak akan ambil pusing soal penceritaan apalagi soal para pemeran yang tak satu pun dari mereka mampu berakting.


Menyaksikan film besutan sutradara Billy Christian yang dalam waktu dekat bakal merilis film 'Tuyul Part 1' ini sungguh sebuah penderitaan tak terperi. Ada aturan tak tertulis dalam filmmaking yang kira-kira bunyinya begini, "Bila Anda hendak membuat film tentang Ferrari, jangan tampilkan mobil-mobil Avanza." Pembuat film ini mungkin belum pernah mendengar pepatah tadi. Dan, hanya zombie yang sudah tak punya semangat hidup saja, saya kira, yang mampu menikmati sajian film ini hingga tuntas.


Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia


(mmu/mmu)