'Cinta dari Wamena': Bicara HIV/AIDS Tanpa Depresi

Jakarta - Semakin banyak saja sineas negeri ini yang membuat film dengan setting di luar Jakarta. 'Cinta dari Wamena' besutan Lasja F. Susatyo ('Langit Biru', 'Mika') ini menambah deretan panjang film Indonesia kontemporer yang tak hanya menampilkan setting di luar Jakarta semata namun juga diisi oleh karakter-karakter lokal yang menghidupkan kisahnya.

Memang, ada karakter yang mewakili Jakarta --diperankan oleh Nicholas Saputra sebagai seorang musisi yang secara kebetulan bertemu dengan salah satu tokoh utama kita-- namun ia tak bersuara maupun memberi sudut pandangnya, seperti karakter Vina yang diperankan Laura Basuki dalam 'Di Timur Matahari' (Ari Sihasale, 2012) yang memasukkan opini Jakarta terhadap Papua sebagai amatannya. 'Cinta dari Wamena' adalah kisah tentang orang-orang Papua, langsung dari sudut pandang mereka.


Litius (Maximus Itlay), Tembi (Benyamin Lagowan), dan Martha (Madonna Marrey) adalah tiga sahabat baik. Mereka tinggal di Jayawijaya, menamatkan SMP di sana, hingga pada akhirnya mereka bertekad untuk pergi ke Wamena untuk melanjukan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Rencana yang semula berjalan baik itu tiba-tiba berantakan setibanya mereka di Wamena akibat pengaruh gaya hidup permisif. Persahabatan mereka pun diuji lewat serangkaian kejadian yang membuka mata masing-masing.


Tembi tak melanjutkan sekolah karena sibuk bermabuk-mabukan serta sering melakukan seks bebas. Ia kemudian tertular virus HIV. Litius menjalin hubungan istimewa dengan Endah (Amyra Jessica), seorang siswi yang ia taksir di sekolah. Sedangkan Martha selain bersekolah, pun menyibukkan diri sebagai seorang pembantu rumah tangga. Ketiga sahabat itu pada akhirnya memilih jalan hidup yang berbeda.


Film ini lewat kamera yang ditata oleh Agni Ariatama ('3 Doa 3 Cinta') memperlihatkan keindahan alam Papua yang sepertinya luput ditangkap oleh Ari Sihasale ketika menggarap 'Di Timur Matahari'. Lasja menyodorkan keindahan alam Papua tanpa terasa sebagai pengulangan dari film lain yang juga sama-sama ber-setting alam Papua. Tak hanya itu, film ata musik dari Aghi Narotama dan Bembi Gusti ('Modus Anomali') cukup bersinergi dengan cerita dalam film.


Hampir semua aktor bermain dengan luwes. Maximus Itlay memberikan performa terbaiknya sebagai aktor debutan, pun dengan Benyamin Lagowan dan Madonna Marrey, benar-benar berbagi emosi bersama. Penampilan Amyra Jessica sebagai Endah juga cukup mencuri perhatian.


Naskah cerita yang ditulis oleh Sinar Ayu Massie ('3 Hari untuk Selamanya') sebetulnya tak terjalin dengan rapi, meninggalkan lubang di sana-sini, dan sering berpangku pada kebetulan dalam menyulam plotnya. Akan tetapi, hal tersebut tak terasa mengganggu ketika mengikuti jalinan kisahnya. Film ini mampu membuat kita terpaku, terpingkal untuk beberapa lelucon yang terlontar dari tokoh-tokohnya, juga membuka mata akan kenyataan yang mungkin tak kita pedulikan selama ini.


Menariknya, Lasja menyodorkan kisah film ini dalam semangat feel good movie. Ia tak menjadikannya berat atau pun depresif untuk isu HIV/AIDS yang disuarakannya. Ia mengomentari keadaan sosial Papua tanpa pretensi apa-apa. Hal ini tentu saja menyenangkan, seperti filmnya yang juga mampu mengundang senyum ketika kisahnya berakhir. Tak hanya meninggalkan kita dengan happy ending, namun juga memberi harapan, sesuatu yang terasa mahal untuk kita dapatkan akhir-akhir ini.


Shandy Gasella, pengamat perfilman Indonesia


(mmu/mmu)