Bisa diceritakan awal keterlibatan kamu dalam film 'Bulan di Atas Kuburan'? Ada persiapan khusus untuk peran kali ini?
Di film ini kan gue diminta jadi orang Batak yang dari kampung. Mungkin kalau untuk logatnya sendiri ya mungkin masih ada beberapa masalah. Tapi, dulu waktu kecil gue sempat tinggal di Medan jadi bahasa Batak sendiri pun udah nggak terlalu asinglah buat gue, karena waktu kecil itu gue ngomong logat Medan. Kalau di 'Murshala' agak sedikit beda, Tapanuli itu emang beda, mereka kalau ngomong lebih lantang, lebih keras. Kalau di Samosir katanya sih nggak seperti itu, tapi gue belum riset sampai situ sih.
Apa hal terberat menjadi seorang selebritas?
Kayak kalau gue ketemu teman-teman gue yang dulu teman-teman dekat gue, teman SMA, teman bandel dulu, kalau gue ditanya, gue kan dipanggilnya Encek, "Cek, gimana sih rasanya jadi artis, lo kan kalau ketemu media pasti diwawancara?" Gue sih nanggepinnya biasa aja, gue nganggap mereka (media) teman juga. Gue butuh mereka dan mereka butuh gue untuk jadi berita, jadi ya udah, gue sih menganggap teman-teman media atau fans sendiri pun menurut gue adalah teman-teman gue yang selalu mendukung gue. Selama lo menganggap itu teman lo pasti akan santai aja nggak akan jadi beban juga.
Katanya kamu tipe aktor pemilih?
Mungkin bahasanya lebih diperhalus, bukannya nggak mau, gue mencoba untuk, apa ya, penolakan itu bukannya gue bilang gue nggak mau, tapi gue merasa itu penting buat karier gue karena memang di dunia entertainment ini kan banyak yang bilang bahwa ini bukan pekerjaan yang long last, bagaimana pinter-pinternya kita untuk mempertahankan karier kita di sini. Itu yang coba gue terapin juga, jangan sampai kita asal ngambil job, takutnya penonton juga bosen. Dan, ketika gue asal ngambil job takutnya gue nggak punya kesempatan untuk bisa memberikan yang lebih, karena akting itu membutuhkan proses. Untuk kita memainkan sebuah peran itu membutuhkan proses, jadi ketika gue ngambil peran yang asal-asalan gue gak mendapatkan apa-apa juga buat diri gue. Ya, okelah money, tapi apa sih uang? Ntar juga bakalan habis. Duit masih bisa dicari, yang harus kita bicarakan di sini kan adalah sebuah karya, bahwa seorang seniman yang penting adalah karyanya. Gue nggak pengen nanti anak-cucu gue nonton film gue terus mereka bilang gini, "Kok kakek gue kayak gini ya? Kok buyut gue kayak gini ya?" Kopian filmnya kan masih ada. Kalau lo simpen benar-benar itu jadi sebuah barang artefak yang berharga. Gue pengen film-film gue juga bisa jadi pesan atau bisa jadi pelajaran juga buat anak-cucu gue nanti ketika mereka nonton. Mungkin dari salah satu film gue ini akan memberikan dia pelajaran, "Oh bener juga ya, mungkin manusia nih harus seperti nih."
Contoh film 'Bulan di Atas Kuburan'. Ceritanya kan menurut gue membicarakan tentang kehidupan manusia yang nggak akan ada habisnya sampai kapan pun, di tahun 1973 pun sampai sekarang ini tetep sama, konteks benang merahnya dan isi dari ceritanya tetap sama dan masih kena juga sama kita. Jadi itu dia sih yang gue selalu terapin, kenapa kalau orang nanya, kenapa lu terlalu picky atau apa, ya bahwa yang gue cari bukan uang sih, yang gue cari ini adalah gue menciptakan sebuah karya yang bisa long last untuk anak-cucu gue. Kalau dibilang egois, ya kalau kita egois terhadap diri kita sendiri ya kenapa enggak, yang penting kita nggak egois terhadap orang lain.
Bila ada satu-dua hal yang menurut kamu bakal bisa membuat industri film di Indonesia menjadi lebih baik, apa itu?
Dari, ya bukan cuma aktor aja tapi dari semua, krunya, produser, investor, harus ada keseriusan, karena hitungannya kita lagi berkembanglah di film, tapi kita belum sampai di titik yang kita sudah hebat. Kita lagi berkembang untuk ke arah sana, jadi menurut gue kita benar-benar harus saling percaya satu sama lain. Lebih-lebih di Indonesia kadang-kadang yang bikin gue suka sedih, di antara tiap sineas itu ada gap di antara mereka, bahwa ada yang merasa film gue lebih baguslah, atau ada yang merasa sutradara ini terlalu idealis, atau ada yang merasa sutradara ini terlalu komersil. Menurut gue gap-gap itu harus diilangin dari pemikiran para sineas, para aktor, para produser, semuanya harus menghilangkan gap itu. Mungkin gue bukan siapa-siapa, tapi gue bisa menilai dan gue bisa melihat hal itu, dan gue sih nggak mau bilangin ke orang-orang, gue juga siapa! Tapi, kalau ditanya oleh media, ya gue jawab itu, bahwa ya itu yang gue rasakan. Tapi, gue nggak mencoba untuk menggurui siapa-siapa. Itu sebenarnya juga urusan mereka masing-masing. Cuma kalau pandangan gue terhadap industri film Indonesia, kalau memang mau maju ya kita harus jalan sama-sama, menurut gue sih gitu. Bukan cuma ada satu PH yang besar terus udah dia aja gitu, terus dia merasa dirinya besar, dia merasa punya power, mereka jadi semena-mena.
Contohnya gini deh, ini ada beberapa PH ketika mereka merasa udah besar, terus mereka membuat budget untuk pemainnya malah jadi sedikit. Mungkin mereka merasa, "Wah, film gue udah menang lho di festival, lo mau nggak? Kalau nggak mau ya udah gue bisa cari pemain lain." Mereka jadi snob begitu, jadi pongah, jadi besar kepala. Jangan sampai begitu, itu kan juga menjadi faktor yang bikin perpecahan di industri ini, salah satunya kan pasti gara-gara ada yang kayak begitu juga.
Sekarang kan sudah ada wadah kumpulan sutradara, kumpulan sinematografer, kumpulan aktor, kegiatannya ngapain aja sih?
Gue ikut sih, cuma gue nggak begitu aktif. Gue cuma lihat di grup aja, ya mereka membahas film Indonesia pasti untuk ke depannya gimana. Apalagi dari segi aktornya, kan kumpulan sutradara juga ada, produser juga ada, pastinya sih mereka memperjuangkan hal-hal yang seperti tadi itu, bagaimana masa depan film Indonesia, menyikapi keadaan bioskop yang seperti itu. Cuma gimana ya, mudah-mudahanlah dengan presiden yang baru ini, yang manalah, either way sama ajalah, mudah-mudahan ekonomi kreatifnya juga lebih dimajukan juga, lebih fokus jugalah terhadap itu. Tapi, siapa presiden kita sekarang? Itu dia pertanyaannya, belum kelar-kelar. [tertawa]
Punya nasihat nggak, atau tips-tips buat orang-orang yang kepengen jadi aktor?
Gue pernah dengar kalau ada beberapa orang atau perusahaan atau siapalah yang suka menipu bahwa lo kalau mau jadi aktor lo harus bayar sekian. Gue banyak mendapat laporan begitu. Apalagi kalau lagi syuting di luar kota, mereka sering nanya, "Mas, saya nih ditawarin casting tapi kok saya disuruh bayar?" Gue selalu tanya siapa orangnya, gue kan pengen tahu, apa-apaan sih, mereka kan penjahat, memanfaatkan orang-orang. Hati-hati dengan itu. Bahwa menjadi seorang aktor bukan hal yang mudah, bukan kalian udah terjun di dunia akting main satu film, dua film, tiga film, kalian udah jadi aktor. Gue sendiri pun ketika gue dibilang aktor Rio Dewanto, itu jujur, itu beban buat gue. Dalam diri gue masih ada beberapa hal yang gue belum puas, gue masih pengen bisa eksplor lagi, gue masih pengen ngasih yang lebih lagi, karena untuk menjadi seorang aktor buat gue bukan hal yang instan, bukan sekedar muka lo ganteng, badan bagus terus lo bisa, enggak juga. Bahwa seorang aktor itu bagaimana dia memainkan sebuah peran itu dengan rasa dan apa dampaknya dari permainan yang dia buat itu, dia bisa memberikan lebih dari apa yang diekpektasikan oleh orang-orang, itu baru seorang aktor.
Film mana yang menurut kamu film terbaik kamu sejauh ini?
'?', dari segi cerita menurut gue itu refleksi dari kejadian yang ada, dan nggak banyak orang yang berani mengangkat konflik atau kejadian-kejadian itu, apalagi pada masa itu dulu, sorry to say, pada zaman itu FPI sering melakukan hal anarkis. Kan di sini kadang-kadang orang suka mengkotak-kotakkan, kejelekan orang Indonesia itu suka mengkotak-kotakkan bahwa si ini orang Islam, si ini orang Kristen, si ini orang suku ini, kan digambarkan di film '?' bahwa ada seorang aktor yang bermain di teater gereja padahal dia seorang muslim, dia menjadi seorang Yesus yang diperankan oleh Agus Kuncoro, gue nangis pas nontonnya. Mata gue berkaca-kaca pas lihat dia disalib, bagaimana kita bisa menerima perbedaan itu adalah keindahan yang sebenarnya. Bagaimana kita bisa menerima perbedaan setiap orang itu yang nggak mudah. Apalagi di sini kan kadang-kadang perbedaan kayak gitu pada akhirnya sering membuat orang untuk mengkotak-kotakkan diri mereka bahwa mereka ngerasa paling bener.
Kamu tahu apa yang paling dicari orang di internet mengenai diri kamu?
Hmm, nggak tahu. Apa tuh?
Ketika orang-orang mencari tahu tentang diri kamu di internet, yang ada di urutan pertama adalah agama Rio Dewanto, kemudian ada pacar Rio Dewanto. Tanggapan kamu?
Oke, kalau agama Rio Dewanto, itu dia, makanya gue kalau ditanya agama lo apa, gue nggak pernah jawab, karena menurut gue nggak penting. Agama itu adalah antara lo sama Tuhan, bukan antara lo sama gue, lo nggak perlu tahu. Terus lo nggak perlu tahu lo salat nggak setiap hari, lo ke gereja nggak tiap minggu. Film '?' tuh udah menjelaskan itu secara garis besar. Dia menjelaskan bahwa kita dalam hidup harus saling menghargai agama orang lain, tidak saling mencela, kita sama-sama bisa maju bareng-bareng. Jadi bukan agama yang menjadi poin penting kita untuk bersama-sama.
Dari sekian karakter yang pernah kamu mainkan, mana yang paling berat?
Kayaknya karakter baru gue di 'Bulan di atas Kuburan' ini cukup berat sih, karena gue masih merasa....apalagi kan gue baru ketemu semua pemainnya kan hari ini. Gue baru tahu, oh oke nanti tiap scene-nya akan seperti ini, kurang lebih kan gue bisa bayangin. Di sini gue masih merasa tiap plot gue sama Atiqah masih agak dragging, kayak keluar aja dari yang lain, kayak kami asing sendiri. Kayaknya nanti malem juga kami bakal discuss soal ini di rumah.
Siapa aktor/aktris favorit kamu?
Kalau di sini Om Tio, aktris Ria Irawan sama Atiqah. Gue juga suka Meryl Streep dan Sean Penn. Gue suka Sean Penn di film 'Mystic River', 'I Am Sam', 'The Secret Life of Walter Mitty' pastilah itu, sama 'Gangster Squad' dimana dia jadi bekas petinju di film itu. Dia gila sih, dia bunglon, dia bisa jadi apa aja. Lo bisa kadang-kadang ngeliat dia sedih, sebel, takut, pendalaman dia luar biasa. Dalam hal akting dia cukup menjadi role model gue.
(mmu / mmu)